Proses jual beli dan administrasi tanah perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Sebab, tanah sebagai aset yang berharga rawan mengalami masalah kepemilikan dengan adanya pihak jahat seperti mafia tanah.
Mafia tanah bisa merebut hak kepemilikan, sehingga terjadi sengketa. Hal ini seperti yang dialami oleh Mbah Tupon (68) asal Ngentak, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Tupon terancam kehilangan tanahnya karena sertifikatnya diam-diam dibalik nama, sementara ia mengira sertifikat tersebut sedang dipecah.
Lantas, bagaimana cara menghindari tipu daya mafia tanah yang ingin merebut kepemilikan tanah?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengacara Properti Muhammad Rizal Siregar mengatakan transaksi seperti jual beli tanah, pecah sertifikat, ataupun balik nama perlu ada saksinya. Hal ini terutama bagi pemilik tanah yang sudah berusia lanjut atau tidak memahami hukum.
"Kalau posisi sudah tua mau transaksi itu kan memang harus didampingi oleh keluarga. Bila perlu itu pakai pengampu. Keluarga kan juga bisa jadi pengampu," ujar Rizal kepada detikProperti, Senin (28/4/2025).
Pengampu adalah orang dari pihak keluarga yang memahami terkait kepemilikan dan transaksi harta bendanya. Selain keluarga, tetangga juga bisa dijadikan saksi dalam sebuah transaksi.
"Siapa yang mau melakukan transaksi atau pendukung pecah sertifikat, yang pertama itu kan harus melibatkan keluarga. Itu yang pasti. Jadi artinya ada saksi dan ada keluarga yang harus kita libatkan. Selebihnya kan memang nggak ada. Pemerintah kan nggak bisa kita melibatkan secara penuh," ucapnya.
Adanya pengampu yang memahami hukum juga membantu masyarakat yang buta huruf. Rizal pun menambahkan notaris sebagai pihak netral dan paham hukum seharusnya memberi bimbingan kepada pemilik tanah agar memiliki pengampu.
Jika pemilik tanah yang tidak paham hukum tertipu untuk menandatangani pengalihan hak, Rizal mengatakan ada proses hukum tidak murni. Pasalnya, pemilik tanah tidak merasa menandatangani untuk mengalihkan haknya.
"(Tupon) Nggak paham (hukum), nggak ada pengampunya. Jadi diberikan informasi yang salah, sehingga Bapak ini mengalami kerugian, tanahnya jadi hilang, apalagi dijamin ke bank," kata Rizal.
"Walaupun Bapak itu benar tanda tangan, dia kan merasa posisinya adalah pecah sertifikat, bukan agunan ke bank. Lagian Bapak ini nggak ngerti hukum," tambahnya.
Sebelumnya diberitakan, dilansir dari detikJogja, putra sulung Tupon, Heri Setiawan (31) menceritakan kasus yang bermula ketika tanah Tupon seluas 2.100 meter persegi hendak dijual sebagian. Tupon menjual tanah seluas 298 meter persegi kepada BR pada 2020.
Ketika pelunasan tanah itu masih kurang Rp 35 juta, BR menawarkan untuk memecah sertifikat tanah Tupon seluas 1.655 meter persegi sesuai nama ketiga anaknya. Heri menyebut BR berjanji bakal menanggung biaya pecah sertifikat dari hasil kurang bayar tersebut.
"Dulu sempat dua kali tanda tangan dokumen diajak sama si T itu, calonya, perantaranya Pak BR. Pertama itu di Janti, kedua di Krapyak. Bapak kurang tahu (dokumen apa) soalnya buta huruf, ndak dibacakan juga, Bapak ndak ada yang dampingi," urainya.
Setelah berbulan-bulan tidak ada kejelasan, petugas bank datang pada Maret 2024. Petugas tersebut mengatakan tanah yang sedianya hendak dipecah sertifikat itu justru sudah lama balik nama dan menjadi agunan bank senilai Rp 1,5 miliar. Tanah tersebut sudah pelelangan pertama.
Punya pertanyaan soal rumah, tanah atau properti lain? detikProperti bisa bantu jawabin. Pertanyaan bisa berkaitan dengan hukum, konstruksi, jual beli, pembiayaan, interior, eksterior atau permasalahan rumah lainnya.
Caranya gampang. Kamu tinggal kirim pertanyaan dengan cara klik link ini
(dhw/das)