Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Sukabumi menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus pengeroyokan yang menewaskan Suherlan alias Samson (33) di Kampung Cihurang, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Sukabumi.
Meskipun ke enam orang itu telah berstatus tersangka, polisi menyebut mereka tidak ditahan. Pantauan detikJabar saat pertemuan antara kepolisian, keluarga Samson dan warga enam orang tersangka juga turut dihadirkan. Mereka terlihat menundukan kepala selama proses pertemuan itu.
"Pada hari Minggu, 23 Februari 2025, polisi telah mengamankan beberapa orang yang diduga sebagai pelaku penganiayaan atau pengeroyokan terhadap Saudara S alias Samson," ujar Kasi Humas Polres Sukabumi, Iptu Aah Saepulrohman dalam keterangan yang diterima detikJabar, Senin (24/2/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari hasil pemeriksaan, keenam orang tersebut kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Penyidik Satuan Reskrim Polres Sukabumi. Ketika ditanya mengenai alasan para tersangka tidak ditahan, Iptu Aah menegaskan bahwa keputusan tersebut merupakan kewenangan subjektif penyidik.
"Ya, tidak dilakukan penahanan dan itu merupakan kewenangan subjektif dari penyidik. Namun demikian, proses penyidikan perkaranya tetap berjalan sesuai prosedur dan aturan yang berlaku," katanya.
Sebelumnya, Kapolres Sukabumi AKBP Samian menjawab anggapan soal tidak adanya upaya hukum kepada Samson yang memang sudah lama membuat keresahan. Menurut Samian, status Samson sebagai ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) membuatnya tidak bisa diproses secara pidana meskipun telah beberapa kali diamankan oleh kepolisian.
"Bahwa saudara Samson memang sudah beberapa kali melakukan tindakan yang melanggar aturan, bahkan masuk ke ranah pidana. Sudah beberapa kali kita amankan, kita proses, namun saat dilakukan asesmen kejiwaan, ternyata yang bersangkutan mengalami gangguan kejiwaan," jelasnya.
Menurutnya, aturan hukum yang berlaku yakni Pasal 44 KUHP menyatakan bahwa orang dengan gangguan kejiwaan tidak dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana.
Karena itu, setiap kali Samson diamankan, pihak kepolisian selalu merujuknya ke rumah sakit jiwa untuk mendapatkan pengobatan. Namun, pengobatan yang ia jalani tidak pernah tuntas karena keterbatasan waktu.
"Di dalam pasal 44, terhadap orang yang mengalami gangguan kejiwaan tidak bisa dibebankan pertanggungjawaban pidana, sehingga kita tempatkan, kita arahkan ke rumah sakit jiwa, dan dilakukan pengobatan. Namun, pengobatan yang tidak tuntas, waktunya terbatas, sehingga kembali lagi ke masyarakat dan kembali lagi melakukan perbuatannya," ungkapnya.
(sya/yum)