Masyarakat di banyak negara barat lebih memilih menyeka daripada membilas untuk membersihkan setelah menggunakan toilet. Hal ini ternyata menjadi kebingungan secara global.
Secara logika air mampu membersihkan lebih bersih daripada kertas. Tetapi mengapa menyeka dengan tisu toilet tetap digunakan oleh orang barat?
Alasan Penggunaan Tisu bagi Orang Barat
Mengutip Wonderopolis, tisu toilet merupakan penemuan yang relatif modern, sekitar 150 tahun lalu. Kehadirannya pertama kali diketahui pada abad ke-6 di China.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum kehadiran tisu toilet, masyarakat zaman dulu menggunakan berbagai barang untuk membersihkan dirinya usai buang air. Seperti rumput, bulu, wol, kain, daun, batu, pasir, lumut, batang jagung, salju, bahkan kertas buku yang sudah tidak terpakai.
Sampai akhirnya, Joseph Gayetty menciptakan tisu toilet komersial pertama pada 1857 di Amerika Serikat. Dinamakan dengan "Kertas Obat Gayetty", tisu itu dalam bentuk lembaran datar yang dibasahi dengan lidah buaya.
Tisu toilet buatan Gayetty tidak langsung populer, karena masyarakat terbiasa menggunakan bahan-bahan yang mereka peroleh secara gratis. Namun penggunaannya semakin berkembang.
Pada 1880-an, tisu toilet yang agak berlubang seperti sekarang muncul. Namun, tisu itu terasa tidak terlalu lembut karena teknis produksi kertas sering kali meninggalkan serpihan.
Barulah pada 1935, perusahaan Northern Tissue mengiklankan tisu toilet yang "bebas serpihan" dan digemari. Perkembangan besar tisu toilet terjadi sepanjang abad ke-20.
Banyak variasi yang timbul, fungsi yang dinilai sesuai, dan mudah didapatkan. Bila dilihat dari sisi sejarah ini, alasan mengapa orang barat menyukai tisu toilet karena mereka sudah melakukannya sejak lama dan hal itu terus digunakan hingga sekarang.
Selain itu, situs Buzz Feed menyebutkan bahwa penggunaan tisu toilet bagi orang barat juga berkaitan dengan faktor cuaca. Sebagian besar negara di Amerika dan Eropa Utara memiliki cuaca yang dingin lebih lama dalam setahun.
Cuaca dingin tentu membuat orang merasa malas bila bersentuhan dengan air. Meskipun pada abad ke-21 sudah ada teknologi pemanas air, orang barat tetap menggunakan tisu. Karena hal ini sudah menjadi kebiasaan yang diwariskan selama berabad-abad.
Tisu Toilet Buruk bagi Lingkungan
Mengutip Euro News, diperkirakan rata-rata orang di AS, Kanada, dan Eropa Barat menggunakan 15-20 kg tisu toilet per tahun. Biro Lingkungan Hidup Eropa mengatakan proses mengubah kayu menjadi kertas dapat menimbulkan polusi.
Akibatnya beberapa produsen utama tisu dunia telah dikritik oleh organisasi lingkungan. Alasannya karena mereka disebut berkontribusi terhadap penggundulan hutan hingga pelanggaran hak asasi manusia.
Laman Bright Side menambahkan, bila produksi tisu toilet mengharuskan 15 juta pohon diolah menjadi bubur kertas setiap tahunnya. Ini merupakan dampak penggundulan hutan yang substansial.
Tidak hanya mengganggu ekosistem tetapi juga berkontribusi terhadap pengurangan hutan menyerap karbon hingga dapat memperburuk perubahan iklim. Alih-alih tisu toilet, para ahli menyarankan penggunaan air dan bidet agar jauh lebih bersih dalam membersihkan diri setelah ke toilet dan lebih ramah lingkungan.
Natural Resources Defense Council menegaskan bila penggunaan air/bidet tidak hanya mengurangi penggunaan tisu toilet secara signifikan, melainkan sedikit lebih baik dibanding dengan proses pembuatan tisu yang menggunduli hutan.
(det/faz)